Kementan Gandeng FAO dan WHO Evaluasi Rencana Aksi Nasional Atasi Resistensi Antibiotik
By Abdi Satria
nusakimi.com-Jakarta– Ketika sakit, baik masyarakat maupun hewan ternak memerlukan pengobatan, namun tidak semua penyakit perlu diobati dengan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, tidak bijak, dan tidak di bawah pengawasan tenaga kesehatan dan tidak menggunakan resep dokter/dokter hewan dapat membuat bakteri kebal. Akhirnya, antibiotik tidak lagi ampuh mengobati penyakit atau disebut sebagai resistensi antimikroba (AMR – antimicrobial resistance). Studi terkini memperkirakan, angka kematian akibat resistensi antimikroba dapat mencapai 10 juta jiwa pada tahun 2050. Untuk mencegah bertambahnya kerugian dan memperlambat laju AMR ini diperlukan langkah-langkah strategis berbagai sektor kesehatan dan sektor terkait lainnya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementan dan kementerian terkait telah mengambil langkah strategis dengan adanya Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) 2017-2019 yang merupakan tidak lanjut dari Rencana Aksi Global yang disusun setelah isu AMR menjadi salah satu pokok bahasan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 2016 lalu.
Resistensi antimikroba merupakan masalah lintas-sektor yang membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Rencana Aksi ini disusun oleh lima Kementerian, yakni Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan serta Kementerian Keuangan. Pada implementasinya, berbagai kementerian dan lembaga lainnya juga ikut terlibat, khususnya dalam peningkatan kesadaran masyarakat.
Hari Paraton, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan menambahkan, “Mengendalikan AMR bukanlah kewajiban suatu negara, tetapi kebutuhan sebuah negara. Oleh karena itu kita harus memiliki rencana untuk bertindak yang melibatkan berbagai sektor.” Ia juga menambahkan bahwa bahaya AMR adalah isu kesehatan global yang kini dampaknya sudah terlihat di Indonesia.
Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba periode 2017-2019 mendapat apresiasi dari Klara Tisocki, Penasihat Regional WHO untuk Asia Tenggara. “Rencana Aksi ini mecakup lima tujuan yang luas dan komprehensif. Selanjutnya, Indonesia mungkin dapat lebih fokus pada beberapa tujuan utama dengan implementasi yang lebih terukur”, jelasnya. Adapun lima tujuan strategis tersebut adalah (1) peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat serta tenaga kesehatan; (2) pembangunan sistem surveilans nasional AMR; (3) higienitas, pencegahan dan pengendalian infeksi; (4) optimalisasi penggunaan antimikroba dengan bijak; (5) mendorong investasi berkelanjutan untuk riset dan pengembangan obat, vaksin, dan intervensi lain.
Sepanjang pertemuan evaluasi yang berlangsung pada tanggal 2 dan 3 Mei di Jakarta, perwakilan kementerian dan lembaga membahas kegiatan apa saja yang sudah dilakukan, tantangan yang dihadapi serta menyusun rencana aksi baru untuk periode 2020-2024. Pertemuan ini diselenggarakan atas dukungan FAO, WHO dan pendanaan dari USAID. Kementerian dan Lembaga telah melakukan berbagai kegiatan, meskipun pengukuran dampaknya perlu diperkuat. Beberapa pencapaian ini antara lain terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 14 tahun 2017 yang melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan hewan ternak; serta peningkatan kesadaran masyarakat, akademisi dan tenaga kesehatan melalui kampanye GEMA CERMAT dan kerja sama dengan 11 Fakultas Kedokteran Hewan di seluruh Indonesia.
Menanggapi hasil evaluasi ini, James McGrane, Team Leader Unit Khusus Badan Pangan dan Pertanian PBB di bidang Kesehatan Hewan (FAO ECTAD Indonesia) mengajak seluruh pihak terkait untuk segera bertindak mengendalikan AMR. “Berbagai studi telah dilakukan baik di tingkat global maupun nasional, kini saatnya kita fokus pada aksi dan solusi. Tenaga kesehatan hewan dan manusia sebagai garda terdepan harus mempraktekkan penggunaan antibiotik yang bijak, sementara masyarakat dan peternak harus mengikuti anjuran tenaga kesehatan.”
Pembahasan RAN PRA 2020-2024 ini bertujuan untuk memperkuat kerjasama lintas sektor dalam mengendalikan dan mengurangi laju AMR di Indonesia, serta melibatkan lebih banyak lagi kementerian dan lembaga yang terlibat seperti Kemenko PMK, Kemenko Perekonomian, KLHK, Kemenristekdikti, Bappenas, dan BPOM.(p/eg)